Minggu, 24 Maret 2013

Posted by DeDY_NuGroho On 05.11

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL TERKAIT KONFLIK INDONESIA - MALAYSIA (PULAU LIGITAN DAN PULAU SIPADAN)
SOAL UJI KOMPETENSI 3




Disusun untuk melengkapi Tugas Mata Kuliah Hukum Internasional
Yang diampu oleh : Drs. Machmud AR, S.H, M.Si
Oleh :
Dedy Ari Nugroho
(K6410014)
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
A.    Pernyataan          :
Konflik Indonesia-Malaysia tentang Pulau Sipadan dan Ligitan akhirnya disepakati penyelesaiannya diserahkan kepada Mahkamah Internasional. Dalam keputusannya tanggal 17 Desember  2002 di Den Haag dinyatakan oleh 16 Hakim menyetujui  pulau itu sebagai milik Malaysia dan 1 hakim menyatakan sebagai milik Indonesia. Dari 17 Hakim tersebut, 15 adalah Hakim Tetap dan 2 adalah tidak tetap yang masing-masding dipilih oleh Indonesia dan Malaysia.

B.     Pertanyaan          :
Apakah dasar keputusan MI tersebut? dan apa implikasinya terhadap Teori Cara Memperoleh Wilayah Negara ?. Sebut dan Jelaskan

C.    Jawaban               :
            Konflik yang terjadi antara Negara Malaysia dengan Indonesia pada dasarnya bukan merupakan sebuah hal baru dalam berbagai perbincangan publik. Persoalan batas wilayah dan batas kedaulatan Negara nyatanya turut mewarnai perdebatan public seputar konflik yang terjadi. Berkaitan dengan hal tersebut keberadaan pulau Ligitan dan Sipadan turut menjadi obyek terjadinya konflik dimana pada saat itu penyelesaiannya diserahkan kepada pihak mahkamah Internasional, dimana pada saat itu sangat diharapkan akan menguntungkan kedua belah pihak. Pulau Sipadan dan ligitan merupakan dua pulau dari rangkaian kepulauan yang terletak di Selat Makasar, di perbatasan antar kalimantan timur dan Sabah (Malaysia Timur). Sipadan Memiliki luas 50000 m² sementara Ligitan merupakan gugus pulau karang seluas 18.000 m². Pada hakikatnya latar belakang munculnya konflik Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan mulai mencuat sejak tahun 1969 ketika Tim Teknis Landas Kontinen Indonesia dan Malaysia membicarakan batas dasar laut antar kedua negara. Kedua pulau Sipadan dan Ligitan tertera di Peta Malaysia sebagai bagian dari wilayah negara Republik Indonesia, padahal kedua pulau tersebut tidak tertera pada peta yang menjadi lampiran Perpu No. 4/1960 yang menjadi pedoman kerja Tim Teknis Indonesia. Dengan temuan tersebut Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Maka dicarilah dasar hukum dan fakta historis serta bukti lain yang dapat mendukung kepemilikan dua pulau tersebut. Di saat yang sama Malaysia mengklaim bahwa dua pulau tersebut sebagai miliknya dengan mengemukakan sejumlah alasan, dalil hukum dan fakta. Kedua belah pihak untuk sementara sepakat mengatakan dua pulau tersebut dalam “status quo”. Dua puluh tahun kemudian (1989), masalah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan baru dibicarakan kembali oleh Presiden Soeharto dan Perdana Mentri Mahathir Muhamad.
            Tiga tahun kemudian tepatnya pada tahun 1992, kedua negara sepakat menyelesaikan masalah ini secara bilateral yang diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan pejabat tinggi menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan kelompok Kerja Bersama (Joint Commission/JC & Joint Working Groups/JWG). Namun dari serangkaian pertemuan JC dan JWG yang dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua pihak berpegang (comitted) pada prinsipnya masing-masing yang berbeda untuk mengatasi kebutuan. Pemerintah Republik Indonesia menunjuk Mensesneg Moerdiono dan dari Malaysia ditunjuk Wakil PM Datok Anwar Ibrahim sebagai Wakil Khusus pemerintah untuk mencairkan kebuntuan forum JC/JWG. Namun dari empat kali pertemuan di Jakarta dan di Kuala Lumpur tidak pernah mencapai hasil kesepakatan.
            Pada pertemuan tanggal 6 - 7 Oktober 1996 di Kuala Lumpur Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahathir menyetujui rekomendasi wakil khusus dan selanjutnya tanggal 31 Mei 1997 disepakati “Special Agreement for the Submission to the International Court of Justice the Dispute between Indonesia & Malaysia concerning the Sovereignty over P. Sipadan and P. Ligitan”. Special Agreement itu kemudian disampaikan secara resmi ke Mahkamah International (MI) pada 2 Nopember 1998. Dengan itu proses ligitasi Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan di MI mulai berlangsung. Selanjutnya penjelasan dua pulau tersebut sepenuhnya berada di tangan RI. Namun demikian kedua negara masih memiliki kewajiban menyampaikan posisi masing-masing melalui “Written pleading“ kepada Mahkamah Memorial pada 2 Nopember 1999 diikuti, “Counter Memorial” pada 2 Agustus 2000 dan “reply” pada 2 Maret 2001. Selanjutnya proses “Oral hearing” dari kedua negara bersengketa pada 3 – 12 Juni 2002. Dalam menghadapi dan menyiapkan materi tersebut diatas Indonesia membentuk satuan tugas khusus (SATGASSUS) yang terdiri dari berbagai institusi terkait yaitu : Deplu, Depdagri, Dephan, Mabes TNI, Dep. Energi dan SDM, Dishidros TNI AL, Bupati Nunukan, pakar kelautan dan pakar hukum laut International.
            Indonesia mengangkat “co agent” RI di Mahkamah Internasional/ICJ yaitu Dirjen Pol Deplu, dan Dubes RI untuk Belanda. Indonesia juga mengangkat Tim Penasehat Hukum Internationl (International Counsels). Hal yang sama juga dilakukan pihak Malaysia. Proses hukum di Mahkamah Internasional/ICJ ini memakan waktu kurang lebih 3 tahun. Selain itu, cukup banyak energi dan dana telah dikeluarkan. Menlu Hassas Wirayuda mengatakan kurang lebih Rp 16.000.000.000 dana telah dikeluarkan yang sebagian besar untuk membayar pengacara. Dalam rangka mengambil atau menyampaikan putusannya Mahkamah Internasional dalam kasus ini menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan kepada Malaysia berdasarkan teori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Menurut Mahkamah tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa.
            Mahkamah Internasional juga menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891. Penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4° 10′ LU yang memotong P. Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting. Peta Memori van Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari konvensi 1891. Mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.
Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan tahun 1969 sebagai critical date mengingat argumentasi hukum RI maupun argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pula yang bersengketa. Sebagaimana putusan Mahkamah Internasional yang menyatakan bahwa  :
DASAR PUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL
Mahkamah Internasional dalam persidangan-persidangannya guna mengambil putusan akhir, mengenai status kedua pulau tersebut tidak menggunakan (menolak) materi hukum yang disampaikan oleh kedua Negara, melainkan menggunakan kaidah kriteria pembuktian lain, yaitu “Continuous presence, effective occupation, maintenance dan ecology preservation”. Dalam amar keputusannya, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa “Indonesia’s argument that it was successor to the Sultanate of Bulungan … cannot be accepted”. Sementara itu, Mahkamah Internasional juga menegaskan bahwa “Malaysia’s argument that it was successor to the Sultan of Sulu … cannot be upheld”.
            Mahkamah Internasional kemudian menyatakan bahwa ukuran yang obyektif dalam menentukan kepemilikan pulau-pulau tersebut adalah dengan menerpakan doktrin effective occupation. Dua aspek penting dalam penentuan effective occupation ini adalah keputusan adannya cut-off date atau sering disebut critical date dan bukti-bukti hukum yang ada. Critical date yang ditentukan oleh Mahkamah Internasional adalah 1969. Artinya adalah semua kegiatan setelah tahun 1969 seperti pembangunan resort dianggap tidak berdampak hukum sama sekali. Mahkamah hanya melihat bukti hukum sebelum 1969. Dalam kaitan ini perlu digarisbawahi bahwa Federasi Malaysia baru terbentuk secara utuh dengan Sabah sebagai salah satu negara bagiannya pada 16 September 1963. Sehingga dapat dimengerti bahwa Sebelum menilai bukti-bukti Indonesia, Mahkamah Internasional menegaskan bahwa UU 4/Prp 1960 tentang negara kepulauan tidak mencantumkan Sipadan-Ligitan sebagai milik Indonesia. Mahkamah berpandangan hal ini relevan terhadap kasus pulau Sipadan-Ligitan karena Indonesia tidak memasukkannya dalam suatu perundang-undangan nasional. Terhadap patroli Angkatan Laut Belanda yang dilakukan sebelum tahun 1969, Mahkamah berpendapat bahwa hal ini merupakan bagian dari latihan bersama atau kesepakatan bersama dalam memerangi perompakan, sehingga tidak bisa dijadikan dasar pengajuan klaim. Mahkamah berpandangan bahwa berbeda dengan Indonesia yang mengajukan bukti berupa sejumlah kegiatan Belanda dan rakyat nelayan, Malaysia mengajukan bukti berupa sejumlah ketentuan-ketentuan hukum. Mahkamah menyatakan bahwa berbagai peraturan Inggris tersebut menunjukkan adanya suatu “regulatory and administrative assertions of authority over territory which is specified by name”.
            Hal tersebut dapat dimengerti dan semakin melambungkan Malaysia karena hampir semua Juri Mahkamah Internasional yang terlibat sepakat menyatakan bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan jatuh kepada pihak Malaysia karena kedua pulau tersebut tidak begitu jauh dari Malaysia dan faktanya Malaysia telah membangun beberapa prasarana pariwisata di pulau-pulau tersebut sebelum tahun 1969. Mahkamah menyimpulkan bahwa sejumlah dokumen yang diajukan menunjukkan adanya beragam tindakan pengelolaan yang berkesinambungan dan damai yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris sejak 1917. Serangkaian upaya Inggris tersebut terwujud dalam bentuk tindakan legislasi, quasi yudisial, dan administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti :
1.      Pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu sejak 1917.
2.      Penyelesaian sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu di Pulau Sipadan pada tahun 1930-an.
3.      Penetapan Pulau Sipadan sebagai cagar burung.
4.      Pembangunan dan pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962 di Pulau Sipadan dan pada tahun 1963 di Pulau Ligitan
            Effective occupation sendiri adalah doktrin hukum internasional yang berasal dari hukum Romawi kuno. Occupation berasal dari konsep Romawi occupatio yang berarti tindakan administratif dan bukan berarti tindakan pendudukan secara fisik. Effective occupation sebagai suatu tindakan administratif penguasaan suatu wilayah hanya bisa diterapkan pada terra nullius atau wilayah baru dan wilayah tak bertuan, atau wilayah yang dianggap tak bertuan dan disengketakan oleh negara. Effective occupation tidak bisa diterapkan kepada wilayah yang diatur oleh perjanjian, keputusan hakim, keputusan arbitrasi, atau registrasi kepemilikan dengan hukum yang jelas. Jelas elemen kuncinya dalam aplikasi doktrin effective occupation adalah ada tidaknya suatu perundang-undangan, peraturan hukum, atau regulasi terkait status wilayah tersebut. Hal ini tentunya sejalan dengan makna dari occupatio yang berarti tindakan administratif dan bukan berarti pendudukan secara fisik.
Karena temasuk doktrin internasional, effective occupation dikategorikan sebagai sumber hukum materiil yang merujuk pada bahan-bahan/materi yang membentuk atau melahirkan kaidah atau norma yang mempunyai kekuatan mengikat, dan menjadi acuan bagi terjadinya sebuah perbuatan hukum.
            Berdasarkan beberapa argument yang dinyatakan diatas mengenai jatuhnya pulau Ligitan dan Sipadan ke pangkuan Malaysia bahwa sesungguhnya bukti-bukti yang diajukan adalah kegiatan Belanda dan Indonesia melawan bukti hukum Inggris. Jadi dari segi kacamata hukum internasional, Malaysia mendapatkan pulau-pulau tersebut bukan atas kegiatannya sendiri tetapi atas kegiatan hukum Inggris yang dilakukan pada tahun 1917, 1933, 1962 dan 1963 jauh sebelum Federasi Malaysia dengan keanggotaan Sabah dibentuk pada 16 September 1963 dan perlu disesali dalam mekanisme penyelesaian konflik Sipadan dan Ligitan adalah tidak dipergunakannya mekanisme regional ASEAN. ASEAN sebagai satu forum kerja sama regional, sangat minimal perannya dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang sebagai persoalan domestik satu negara dan ASEAN tidak ikut campur tangan di atasnya. Sesungguhnya, ASEAN sendiri sudah merancang terbentuknya sebuah Dewan Tinggi (High Council) untuk menyelesaikan masalah-masalah regional. Dewan ini bertugas untuk memutuskan persoalan-persoalan kawasan termasuk masalah klaim teritorial. Namun keberatan beberapa anggota untuk membagi sebagian kedaulatannya merupakan hambatan utama dari terbentuknya Dewan Tinggi ini.               
IMPLIKASINYA TERHADAP TEORI CARA MEMPEROLEH WILAYAH NEGARA
            Dengan jatuhnya pulau Ligitan dan Pulau Sipadan ke pangkuan Malaysia, tentu saja hal tersebut menimbulkan polemik besar yang berkembang ditengah masyarakat Indonesia. Polemic-polemik ini timbul karena adanya rasa tidak puas atas putusan yang diberikan pihak Mahkamah Internasional. Polemik ini mengakibadkan adanya rasa ketidakpercayaan atau dalam kata lain krisis kepercayaan dari masyarakat bangsa Indonesia terhadap pemerintah yang ada. Krisis kepercayaan ini timbul sebagai akibat dari lepasnya pulau demi pulau yang pelan-pelan melunturkan atau bahkan secara tidak langsung mengikis integrasi nasional bangsa Indonesia.
            Selanjutnya terdapat pula implikasi-implikasi yang ditimbulkan terhadap teori cara memperoleh wilayah Negara, dalam hal ini tampak secara jelas bahwa dengan jatuhnya pulau Ligitan dan Sipadan dengan menggunakan doktrin Effective Occupation semakin mempertegas dan membuktikan adanya kedigdayaan dari salah satu teori penambahan wilayah yaitu teori Okupasi. Hal ini dikarenakan, jika diperhatikan dengan seksama etikat serta usaha yang dilakukan oleh masing-masing Negara yang terkait sangat sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam teori Okupasi, yang merupakan penegakan keadulatan atas wilayah yang tidak berada di bawah penguasaan negara manapun (hal ini sangat sesuai karena ketika Indonesia dan Malaysia menyelenggarakan pertemuan teknis hukum laut pada tahun 1967, bahwa pulau Ligitan dan Sipadan tidak masuk dalam kekuasaan Malaysia, dan disisi lain pulau Ligitan dan Sipadan tidak tertera pada peta yang menjadi lampiran Perpu No. 4/1960 yang menjadi pedoman kerja Tim Teknis Indonesia), baik wilayah yang baru ditemukan ataupun suatu hal yang tidak mungkin yang ditinggalkan oleh negara semula. Penguasaan tersebut harus dilakukan oleh negara dan bukan oleh orang perorangan (hal ini juga sesuai dengan persengketaan yang ada, karena yang mengusahakan kedaulatan atau kepemilikan daerah tersebut adalah negara-negara terkait dan bukan perorangan dari masing-masing negara), secara efektif dan harus terbukti adanya kehendak untuk menjadikan wilayah tersebut sebagai bagian dari kedaulatan negara. Hal itu harus ditunjukkan misalnya dengan suatu tindakan simbolis yang menunjukkan adanya penguasaan terhadap wilayah tersebut, misalnya dengan pemancangan bendera atau pembacaan proklamasi. Penemuan saja tidak cukup kuat untuk menunjukkan kedaulatan negara, karena hal ini dianggap hanya memiliki dampak sebagai suatu pengumuman. Agar penemuan tersebut mempunyai arti yuridis, harus dilengkapi dengan penguasaan secara efektif untuk suatu jangka waktu tertentu. Sehingga kesesuaian ini, menurut pendapat saya dapat dinilai sebagai implikasi yang ditimbulkan dari lepasnya pulau Ligitan dan Sipadan melalui penerapan doktrin effective occupation, terhadap teori cara memperoleh wilayah secara Okupasi. Sehingga secara implicit digunakannya doktrin effective Occupation mampu menyuguhkan dampak/implikasi bagi keberfungsian teori Okupasi, sebagai salah satu teori yang legimate.

SUMBER DATA

Anonim. 2010. “putusan Mahkamah Internasional tentang pulau Ligitan dan          sipadan”. (online), (http://hukum.kompasiana.com/2010/10/17/keputusan-         mahkamah-internasional-tentang-pulau-sipadan-dan-ligitan/.html), diakses 5 Mei 2012.

Anonim. 2003. “lepasnya pulau Ligitan dan Sipadan”.(online),( http:// blog .theos             ambuaga.com/2003/04/19/sipadan-dan-ligitan-suatu-pelajaran-berharga/      .html),  diakses 5 Mei 2012

Adi Sumardiman, Ir, SH, Sipadan dan Ligitan, SK Kompas, Jakarta, 18 Desember             2002.

Wikipedia. 2011. Sengketa Sipadan dan Ligitan dalam kancah ketahanan RI.         Online. (http://id.wikipedia.org/wiki/). Diakses tanggal 05 Mei 2012.

Anonim. 2008. “Dasar putusan Mahkamah Internasional mengenai Pulau Ligitan   dan Sipadan”. (online), (http://Google.com/2008/10/dasar-Putusan-   Ligitan-Sipadan.html), diakses 5 Mei 2012.


0 komentar:

Posting Komentar