ANALISIS LETTER OF INTENT (LoI) PEMERINTAH RI DENGAN IMF TERKAIT MUNCULNYA
UNDANG-UNDANG NO. 22 TAHUN 2001 MENGENAI MINYAK DAN GAS BUMI
DI TINJAU DARI BUNYI PASAL 11 UUD
1945
Disusun untuk
melengkapi Tugas Mata Kuliah Hukum Internasional
Yang diampu oleh : Drs.
Machmud AR, S.H, M.Si
Oleh :
Dedy
Ari Nugroho
(K6410014)
PENDIDIKAN
PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai suatu
bangsa yang berada dalam taraf membangun seperti Negara Indonesia, tentu saja
memiliki suatu komitmen yang gencar dilakukan untuk menunjang laju
pembangunannya. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan melakukan suatu
hubungan interaksi dengan pihak lain, terutama dalam rangka memperoleh suatu
dukungan financial yang nantinya dapat digunakan untuk meningkatkan taraf hidup
rakyatnya atau membangun infrastruktur di Negara tersebut. Salah satu bentuk
kerja sama dalam bidang financial yang dapat dilakukan oleh Negara dalam skala
yang relative besar adalah dengan mempergunakan Letter of Intent yang dapat
digunakan sebagai sarana untuk dapat melakukan kerjasama, atau yang lebih
spesifiknya adalah meminjam permodalan dalam bentuk financial untuk pen yelenggaraan Negara.
Memorandum
of economic and Financial policies (MEFP) atau populernya adalah Letter of Intent (LoI) sebenarnya adalah
suatu dokumen yang menjelaskan berbagai program dan kebijakan yang akan
diimplementasikan oleh pemerintah suatu Negara dalam konteks permintaan bantuan
keuangan dari lembaga moneter internasional (The International Monetery Fund) atau biasa disebut IMF. Jika
program-program dalam LoI ini disepakati oleh IMF barulah dana bantuan untuk
Negara pemohon dikucurkan. Berkaitan dengan hal tersebut dalam realitanya Negara
Indonesia juga mengajukan pemohonan dana tersebut, sehingga secara otomatis
Indonesia merelakan diri untuk menjadi kuli di Negara sendiri untuk melunasi
pinjaman-pinjaman financial dari IMF. IMF sendiri mulai dibentuk pada tahun
1944 karena kuatnya dorongan untuk menciptakan tatanan perekonomian dunia yang
dapat menangkal turbulensi ekonomi, politik dan sosial yang terjadi pada
1930-an. Khususnya yang menyangkut perdagangan dan pembayaran internasional
agar situasi tersebut tidak terulang maka pasca perang dunia didirikanlah IMF
yang dibebani tugas untuk menjaga dan memonitor norma-norma yang mengatur
transaksi moneter diantara Negara-negara anggotanya. Sejak itu IMF adalah
satu-satunya lembaga yang mengatur system moneter internasional.
Indonesia sebagai Negara yang
terikat oleh konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan dari adanya bantuan yang
diberikan IMF, mengakibatkan Indonesia harus berjuang keras untuk mengembalikan
pinjaman financial tersebut. Berbagai macam usaha dilakukan Negara ini, namun
sedikit banyak rakyat merasa telah dirugikan secara tidak langsung, hal ini
dikarenakan usaha yang ditempu Negara ini dalam usahanya mengembalikan hutang
piutangnya sering kali menaik turunkan harga kebutuhan pokok dan terkesan tidak segan mencekik leher rakyatnya
demi keuntungan tuan-tuan pemodal swasta dan imperialis. Keadaan yang semacam
ini tentu menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat disamping berjubelnya
hutang negaran yang terlanjut terkucur. Beberapa tanggung jawab pelunasan
hutang piutang seakan menjadi PR besar terhadap kepemimpinan yang ada, selain
menimbulkan pr besar bagi pemerintah keberadaan pinjaman IMF juga dikhawatirkan
akan merangsang terbentuknya insane-insan garuda yang selalu bergantung pada kreditor imperialis.
Disetujuinya
Letter of Intent Indonesia dengan IMF nyatanya memunculkan sejumlah aturan yang
harus ditepati oleh Negara-negara peminjam modal seperti Indonesia. Di
Indonesia sendiri muncul suatu aturan yang di buat terutama yang mengatur mengenai
migas. Menurut beberapa pendapat dapat di simpulkan bahwa liberalisasi sektor
migas sendiri sebenarnya sudah berusaha didorong sejak lama. Kebijakan ini
didorong terutama oleh para pemodal internasional agar bisa mendominasi sektor
energi nasional dari hulu ke hilir. Aktor-aktornya, di antaranya adalah IMF,
Bank Dunia, Asian Development Bank dan USAID. Dalam Letter of Intent (LoI)
Indonesia dengan IMF, sudah tertera aturan untuk liberalisasi sektor energi
melalui pembuatan UU Migas untuk mengganti UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dengan UU baru yang lebih berpihak pada
investor yang kemudian melahirkan undang-undang mengenai minyak dan gas bumi,
yaitu Undang-Undang No. 22 tahun 2001 diamana UU ini kemudian menjadi payung
hukum pelaksanaan industri Migas di Indonesia.
Berkaitan dengan beberapa pendapat
serta argument diatas maka dalam paper ini akan dijelaskan secara gamblang
mengenai bagaimana serta apa sebenarnya hubungan antara LoI dengan munculnya UU
baru tentang Migas. Sebagai salah
satu ketentuan, munculnya UU tentang migas dirasa perlu di kaji dari sisi
perjanjian internasional, dimana didalamnya mengatur pula mengenai
ketentuan-ketentuan dilakukannya suatu perjanjian.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
TINJAUAN
PASAL 11 UUD 1945 MENGENAI KEABSAHAN UNDANG-UNDANG NO. 22 TAHUN 2001 TERKAIT
ADANYA LETTER OF INTENT INDONESIA -
IMF
Materi Muatan UU Migas yang bertentangan
dengan UUD 1945
Materi Muatan Pasal 11 Ayat (2)
UU Migas yang berbunyi, “Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani
harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia” bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2), Pasal 20A Ayat (1), serta
Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945
a. Bahwa
sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas tersebut di atas, Perjanjian
atau Kontrak Kerja Sama (KKS) antara Pemerintah. BP MIGAS dengan pihak
Kontraktor usaha minyak dan gas bumi hanya diberitahukan secara tertulis kepada
DPR-RI, setelah perjanjian tersebut ditandatangani, bukannya terlebih dahulu
dimintakan persetujuan kepada DPR-RI. Dalam hal ini, pihak DPR-RI secara pasif
hanya menerima salinan atau fotokopi kontrak/perjanjian yang sudah selesai
ditandatangani oleh Pemerintah. BP MIGAS dengan pihak Kontraktor
b. Bahwa
faktanya, salinan atau fotokopi kontrak-kontrak kerja sama yang dikirimkan ke
DPR-RI. Komisi yang membidangi Minyak dan Gas Bumi itupun baru dikirimkan
berselang cukup lama setelah penandatanganan kontrak atau perjanjian antara
pihak Pemerintah. BP MIGAS dengan pihak Kontraktor. Misalnya Kontrak Kerja
Sama antara BP MIGAS dengan Lasmo Indonesioa Limited dan Unocal Muara Bakau,
yang telah ditandatangani pada 30 Desember 2002, namun baru
dikirim/diterima oleh DPR-RI. Komisi VIII pada 11 Maret 2004 (vide Bukti
P-11), Kontrak Kerja Sama antara BP MIGAS dengan Sebana, yang telah
ditandatangani pada 14 Oktober 2003, namun baru dikirim/diterima oleh DPR-RI.
Komisi VIII pada 11 Maret 2004 (vide Bukti P-112), Kontrak Kerja Sama
antara BP MIGAS dengan Tately N.V. (Company No.87301) yang telah
ditandatangani pada 30 Desember 2003, namun baru dikirim/diterima oleh DPR-RI.
Komisi VIII pada 11 Maret 2004.
c. Bahwa
KKS yang dimaksud oleh ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas yakni Kontrak Bagi
Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi (kegiatan
yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan
dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja yang
ditentukan) dan Eksploitasi (rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk
menghasilkan minyak dan gas bumi dari wilayah kerja yang ditentukan, yang
terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana
pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak
dan gas bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya) yang lebih
menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
d. Bahwa
kontrak-kontrak atau perjanjian antara BP MIGAS dengan Kontraktor nyata-nyata
menimbulkan pendapatan atau minimal potensi pendapatan yang sangat besar bagi
negara. Sebagai contoh antara lain:
1) Production
Sharing Contract antara BP MIGAS dan Lasmo Indonesia Limited dan Unocal
Muara Bakau. tertanggal 30 Desember 2002 dengan area kontrak Muara Bakau.
2) Production
Sharing Contract antara BP MIGAS dan Sebana Ltd. tertanggal 14
Oktober 2003 dengan area kontrak Bulu.
3) Production
Sharing Contract antara BP MIGAS dengan Santos (NTH Bali I).
tertanggal 14 Oktober 2003 dengan area kontrak North Bali I
4) Production
Sharing Contract antara BP MIGAS dan Knoc Nemone. dan Petrovietnam
Investment & Development Company dan SK Corporation tertanggal
14 Oktober 2003 dengan area kontrak North East Madura I.
5) Production
Sharing Contract antara BP MIGAS dan Knoc Nemtwo Ltd. dan Petrovietnam
Investment & Development Company tertanggal 14 Oktober 2003 dengan area
kontrak North East Madura II
6) Production
Sharing Contract antara BP MIGAS dan Provident Indonesia Energy LLC tertanggal
14 Oktober 2003 dengan area kontrak Tarakan Offshore Block
7) Production
Sharing Contract antara BP MIGAS dan Tately N.V. (Company No.87301)
tertanggal 30 Desember 2003 dengan area kontrak Palmerah (vide BUkti
P-13)
8) Production
Sharing Contract antara BP MIGAS dan Pearloil (Salawati) Limited
tertanggal 30 Desember 2003 dengan area kontrak West Salawati;
9) Production
Sharing Contract antara BP MIGAS dan Elnusa Bangkanai Energy Ltd.
tertanggal 30 Desember 2003 dengan area kontrak Bangkanai;
10) Production
Sharing Contract antara BP MIGAS dan Halmahera Petroleum Limited tertanggal
30 Desember 2003 dengan area kontrak Halmahera.
e. Bahwa
di lain pihak, ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 secara tegas mensyaratkan
bahwa segala perjanjian internasional lain (selain perjanjian
internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Ayat (1) UUD 1945, yakni
perjanjian internasional terkait dengan pernyataan perang, perdamaian dan
perjanjian dengan negara lain), sejauh perjanjian internasional tersebut
menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan
beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
undang-undang, maka perjanjian internasional sedemikian, menurut UUD 1945,
sebelum ditandatangani oleh Presiden/Pemerintah, harus terlebih dahulu
mendapat persetujuan DPR-RI, bukan hanya sekadar pengiriman salinan atau copy
perjanjian atau kontrak secara tertulis saja yang dikirimkan kepada DPR-RI;
f. Bahwa
filosofi dasar harus disetujuinya setiap perjanjian internasional sebagaimana
dimaksud Pasal 11 UUD 1945 tersebut adalah bahwa secara materiil dan secara
formal, perjanjian internasional apapun juga yang akan dibuat atau
ditandatangani oleh Pemerintah, harus terlebih dahulu disetujui oleh DPR-RI,
sepanjang perjanjian internasional tersebut menimbulkan akibat luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara
dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang
g. Hal
tersebut adalah sangat logis dan mendasar mengingat konsep dasar yang dibangun
oleh UUD 1945 adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang selalu
mengedepankan kemakmuran dan kesejahteraan kehidupan rakyat, sehingga karenanya
segala tindakan Pemerintah yang terkait atau membawa akibat luas dan mendasar
bagi kehidupan rakyat luas harus mendapatkan persetujuan DPR-RI sebagai lembaga
negara yang sah mewakili rakyat
h. Bahwa
dengan tanpa disetujuinya terlebih dahulu perjanjian-perjanjian yang akan
ditandatangani oleh Pemerintah. BP MIGAS dengan pihak Kontraktor tersebut,
maka:
1. DPR-RI
menjadi tidak dapat mengetahui dan mengawasi lebih awal berapa banyak
kontrak-kontrak yang dilakukan oleh Pemerintah. BP MIGAS, dan seberapa
besar pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan sumber daya alam minyak dan
gas bumi tersebut. Akibatnya, DPR-RI tidak dapat mengetahui seberapa besar
hasil pengelolaan sumber daya alam dari sektor minyak dan gas bumi memberikan keuntungan
yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
2.
Faktanya, ternyata dari kontrak-kotrak yang ada, nampak jelas betapa besarnya
pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan minyak dan gas bumi yang ada di bumi
dan air Indonesia, yang apabila tanpa dikelola secara baik dan benar serta
diawasi secara ketat oleh DPR-RI dalam bentuk pemberian persetujuan, akan
sangat berpotensi merugikan Negara, yang berarti tidak memberikan kesejahteraan
dan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi rakyat.
3.
Ketiadaan persetujuan DPR-RI tersebut, mengakibatkan hilang dan terlanggarnya
hak konstitusional para Pemohon selaku Anggota DPR-RI untuk melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan kekayaan alam yang ada di bumi dan
air Indonesia yang dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4. Di
samping itu, tanpa adanya persetujuan DPR-RI, mengakibatkan hilangnya hak
konstitusional para Pemohon untuk ikut mengawasi pengelolaan sumber daya alam
dari sektor minyak dan gas bumi, apakah telah dikelola, dilaksanakan dan
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
i. Bahwa lebih jauh lagi, ukuran atau tolok
ukur dari perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang
luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat, sehingga harus dengan persetujuan
DPR-RI sebagaimana dimaksud oleh ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945, yaitu:
- Terkait
dengan beban keuangan negara; dan/atau
-
Mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang.
1) Terkait
dengan beban keuangan negara, berarti ada uang atau pengeluaran yang harus
dikeluarkan oleh negara yang dapat menjadi beban rakyat atau negara harus
mengeksploitasi sumber daya alamnya untuk menutupi beban keuangan negara yang
terjadi;
2) Mengharuskan
perubahan atau pembentukan Undang-undang. Dalam hal ini Undang-Undang
tentang APBN, dimana ada kejadian yang sedemikian rupa menimbulkan pendapatan
negara yang sangat besar sehingga merubah atau setidak-tidaknya mempengaruhi
sisi pendapatan APBN. Artinya, dalam hal terjadi suatu pendapatan yang sangat
besar di luar yang tercantum dalam Undang-Undang tentang APBN yang telah
disetujui bersama oleh Pemerintah dan DPR, maka Undang-Undang APBN tersebut
harus diubah untuk menyesuaikan dengan besarnya jumlah pendapatan yang baru
tersebut, dan hal ini juga akan berakibat atau mengakibatkan perubahan APBN
pada sisi pengeluaran atau belanja negara;
j. Sesuai dengan fakta tersebut di atas,
kontrak-kontrak/KKS tersebut telah menimbulkan tambahan pendapatan negara yang
luar biasa besar dan signifikan sehingga mempengaruhi atau menyebabkan
perubahan Undang-Undang APBN pada sisi pendapatan, dan juga secara langsung
merubah komposisi APBN pada sisi belanja negara. Dengan demikian, perjanjian-perjanjian
antara BP MIGAS dengan Kontraktor tersebut, secara konstitusional harus
mendapatkan persetujuan DPR-RI yang dalam hal ini diwakili oleh para Anggota
DPR-RI.
k. Bahwa
lebih jauh lagi, kekayaan negara yang sangat besar dari sektor minyak dan gas
bumi yang dikelola oleh BP MIGAS tersebut, menimbulkan potensi kerugian negara
yang sangat besar jika tidak dikelola secara benar, efisien dan efektif.
l. Namun demikian, faktanya tidak ada satupun
lembaga negara atau intitusi yang dapat melakukan tindakan pre-emptive atau
preventive (pencegahan) untuk menghindari kerugian keuangan negara
akibat salah kelola atau pengelolaan yang tidak efisien oleh Pemerintah cq. BP
MIGAS atas keuangan negara yang sangat besar tersebut sebagai suatu bentuk
pengawasan atas pengelolaan kekayaan negara. Bahkan pengawasan secara dinamis
pasca penandatanganan kontrak dan implementasinya di lapangan, faktanya juga
sangat sulit untuk dilakukan karena prosedur permintaan data/keterangan maupun
pengiriman salinan atau fotokopi kontrak yang relatif lambat dan
berbelit-belit. Sehingga terkesan kuat bahwa BP MIGAS telah menjadi suatu
lembaga super body yang tidak dapat dikontrol/diawasi oleh pihak manapun
juga. Hal tersebut tercermin dari kewenangan atau tugas dari BP MIGAS yang
begitu besar, yaitu antara lain:
-
Penyiapan dan penawaran wilayah kerja serta KKS oleh BP MIGAS
-
Penandatanganan KKS
-
Persetujuan atas rencana kerja dan anggaran
-
Monitoring pelaksanaan KKS
-
Penunjukan penjual minyak bumi dan/atau gas alam bagian negara
-
Pelaksanaan tender-tender untuk proses eksplorasi dan eksploitasi oleh
Kontraktor
-
Persetujuan besaran dan pembayaran Cost Recovery kepada Kontraktor.
m. Bahwa
terkait dengan kekhawatiran banyak kalangan atas dampak dari keharusan adanya
persetujuan DPR-RI terlebih dahulu atas setiap kontrak/KKS yang akan
ditandatangani oleh Pemerintah. BP MIGAS dengan Kontraktor, dalam
hubungannya dengan iklim atau tingkat investasi di Indonesia, maka hal tersebut
hanyalah kekhawatiran yang berlebihan mengingat hal yang menjadi perhatian
utama para investor yang akan menanamkan modal di Indonesia adalah masalah
kepastian hukum dan jaminan keamanan berinvestasi. Persetujuan DPR-RI atas
penandatanganan kontrak-kontrak/KKS antara Pemerintah. BP MIGAS dengan
Kontraktor jangan dilihat sebagai perpanjangan rantai birokrasi sehingga
mengakibatkan inefisiensi berinvestasi, melainkan justru lebih memperkuat
kedudukan hukum dan kepastian hukum dari kontrak/KKS. Karena dalam praktik di
negara manapun juga, justru menunjukkan bahwa kepentingan negara dan rakyat
dalam pengelolaan kekayaan negara adalah hal pokok yang harus selalu diutamakan
dan dikedepankan.
Dengan demikian sudah sangat
jelas dan tidak terbantahkan lagi bahwa ketentuan Pasal 11 Ayat (2) bahwa
dalam UU Migas hanya mewajibkan Pemerintah dimana BP MIGAS hanya menyampaikan
atau menyampaikan salinan atau fotokopi dari kontrak atau perjanjian yang telah
selesai ditandatangani oleh pihak Pemerintah saja. sehingga BP MIGAS dengan
pihak Kontraktor, bertentangan dengan UUD 1945.
B.
HUBUNGAN ANTARA LETTER OF INTENT
DENGAN MUNCULNYA UU NO. 22 TAHUN 2001 TENTANG MIGAS
Letter
of Intent (LoI) sering disebut juga sebagai Memorandum of Economics Financial Policies (MEFP). LoI ini
sebenarnya merupakan serangkaian kebijakan yang akan diimplementasikan oleh pemerintah
Indonesia didalam kerangka untuk memperoleh dukungan financial dari Lembaga
Dana Moneter Internasional (IMF). LoI yang dibuat oleh pemerintah Indonesia
ditandatangani oleh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. Dalam kurun
waktu tertentu, IMF melakukan review atas pelaksanaan kebijakan-kebijakan
ekonomi yang telah dilakukannya. Atas dasar hasil review inilah biasanya IMF
mencairkan sebagian dana yang telah disepakati dalam LoI.
Butir-butir kesepakatan yang tertuang
dalam Letter of Intent (LoI) merupakan suatu produk dari hasil kesepakatan
bersama antara pemerintah Indonesia dengan Lembaga Dana Moneter Internasional
(IMF) yang pada dasarnya diarahkan pada upaya-upaya yang perlu dilakukan oleh
pemerintah Indonesia dalam pemulihan ekonomi, sehingga pada saatnya Indonesia
mampu keluar dari krisis ekonomi.
Sejarah dilayangkannya permohonan bantuan
financial ini di awali dari periode Agustus – Oktober 1997, pemerintah telah
berupaya mengatasi krisis dengan mengembangkan mata uang. Spekulasi meningkat
dan bank Indonesia mengetatkan likuiditas sehingga tingkat bunga (deposito 1
bulan) mencapai 63 persen pada 20 Agustus. Proyek-proyek pembangunan senilai
US$ 35,6 milyar ditunda dan ditinjau ulang, ketika usaha-usaha tersebut tidak
berhasil menekan krisis yang melanda maka IMF diharapkan mampu memperkuat
program-program pemerintah, maka pada 31 Oktober 1997, pemerintah melayangkan
permohonan bantuan keuangan pada Michel Camdessus Managing Director IMF waktu
itu. Bantuan ini akan digunakan untuk menanggulangi krisis moneter. Untuk
memenuhi persyaratan bantuan inilah Indonesia dan IMF membuat suatu kesepakatan
pemulihan ekonomi dalam tiga tahun. Kesepakatan ini disetujui pada bulan
November 1997, sedangkan LoI pertama ditanda tangani oleh presiden RI pada waktu
itu yaitu Soeharto denga disaksikan oleh Michel Camdessus pada 15 Januari 1998.
Dalam permohonan bantuan dana kepada IMF
tersebut, pemerintah Indonesia berjanji akan melakukan sejumlah perbaikan.
Janji mengadakan perbaikan dan perubahan ini terkait pada dana yang dipinjamkan
lembaga donor tersebut. Kebijakan-kebijakan yang tertuang dalam LoI ini
diharapkan mampu dengan cepat mengembalikan kepercayaan pasar, untuk ini
pemerintah RI bersedia menerima persyaratan tambahan yang diperlukan dan
berjanji akan menyiapkan informasi yang diminta IMF tentang proses dari
implementasi kebijakan dan pencapaian program.
Dengan
ditandatanganinya surat atau dokumen Letter of Intent oleh presiden RI yang
saat itu berkuasa, maka secara otomatis hal tersebut membuka ruang untuk tangan
atau pihak asing dalam mengetahui seluk beluk serta informasi-informasi yang
berkenaan dengan penerapan program-program dari dana IMF tersebut.
Bahkan dalam Memorandum Kebijakan Ekonomi dan Keuangan Strategi Jangka Menengah
dan Kebijakan untuk 1999 dan 2000
yang dikirimkan kepada pihak IMF Indonesia menyatakan dalam salah satu butir pendahuluannya, bahwa Di sektor minyak dan gas, pemerintah secara tegas berkomitmen untuk tindakan berikut: mengganti hukum yang ada dengan kerangka hukum modern, restrukturisasi dan reformasi Pertamina, memastikan bahwa hal fiskal dan peraturan untuk eksplorasi dan produksi tetap kompetitif secara internasional. Memungkinkan harga produk dalam negeri untuk mencerminkan tingkat pasar internasional, dan membangun sebuah kerangka kebijakan yang koheren dan suara untuk mempromosikan efisien dan pola ramah lingkungan dari penggunaan energi dalam negeri. Draft yang mengatur mengenai Minyak dan hukum gas yang telah disampaikan kepada parlemen sebelumnya akan ditinjau dan dikirimkan kembali dengan maksud untuk perjalanan panjangnya selama tahun 2000. Hukum ini akan menyediakan pembentukan sebuah badan tujuan khusus untuk mengalokasikan areal dan mengawasi kontrak eksplorasi dan produksi, pembentukan lembaga independen untuk mengatur elemen monopoli bisnis hilir, sedangkan pengaktifan dari persaingan yang efektif dalam penyediaan bahan bakar untuk pasar domestic, dan transformasi Pertamina menjadi perusahaan perseroan terbatas. Secara paralel, harga BBM domestik akan semakin meningkat sehingga mendorong pilihan energi lebih efisien dan untuk penghapusan tersebut di subsidi anggaran; ke arah tujuan ini, meningkat awal akan dilaksanakan selama TA 2000. Rumah tangga berpenghasilan rendah akan dilindungi oleh skema subsidi bertarget yang sedang dikembangkan melalui konsultasi dengan Bank Dunia.
yang dikirimkan kepada pihak IMF Indonesia menyatakan dalam salah satu butir pendahuluannya, bahwa Di sektor minyak dan gas, pemerintah secara tegas berkomitmen untuk tindakan berikut: mengganti hukum yang ada dengan kerangka hukum modern, restrukturisasi dan reformasi Pertamina, memastikan bahwa hal fiskal dan peraturan untuk eksplorasi dan produksi tetap kompetitif secara internasional. Memungkinkan harga produk dalam negeri untuk mencerminkan tingkat pasar internasional, dan membangun sebuah kerangka kebijakan yang koheren dan suara untuk mempromosikan efisien dan pola ramah lingkungan dari penggunaan energi dalam negeri. Draft yang mengatur mengenai Minyak dan hukum gas yang telah disampaikan kepada parlemen sebelumnya akan ditinjau dan dikirimkan kembali dengan maksud untuk perjalanan panjangnya selama tahun 2000. Hukum ini akan menyediakan pembentukan sebuah badan tujuan khusus untuk mengalokasikan areal dan mengawasi kontrak eksplorasi dan produksi, pembentukan lembaga independen untuk mengatur elemen monopoli bisnis hilir, sedangkan pengaktifan dari persaingan yang efektif dalam penyediaan bahan bakar untuk pasar domestic, dan transformasi Pertamina menjadi perusahaan perseroan terbatas. Secara paralel, harga BBM domestik akan semakin meningkat sehingga mendorong pilihan energi lebih efisien dan untuk penghapusan tersebut di subsidi anggaran; ke arah tujuan ini, meningkat awal akan dilaksanakan selama TA 2000. Rumah tangga berpenghasilan rendah akan dilindungi oleh skema subsidi bertarget yang sedang dikembangkan melalui konsultasi dengan Bank Dunia.
Bahkan dalam poin 16 dalam pendahuluan Memorandum
Kebijakan Ekonomi dan Keuangan Strategi Jangka Menengah dan Kebijakan untuk
1999 dan 2000 pemerintah menyatakan bahwa pemerintah berkomitmen untuk
membangun struktur tata kelola sepenuhnya efektif dalam konsultasi dengan pihak
IMF. Dengan pernyataan tersebut mengandung sebuah pencitraan bahwa pemerintah
berkomitmen untuk menggunakan jasa dan pertimbangan IMF dalam pelaksanaan
program pemulihan ekonomi Negara. Dengan adanya Letter of Intent yang disebut
pula sebagai dokumen kerja sama membuat pihak IMF semakin bebas melakukan
bentuk intervensi terhadap kebijakan Negara. Salah satunya adalah dorongan IMF
kepada pemerintah untuk segera membentuk Undang-Undang baru yang lebih modern
yang mengatur mengenai minyak dan gas bumi. Argument tersebut semakin diperkuat
oleh pendapat Kurtubi, bahwa panitia Angket Bahan Bakar Minyak Dewan Perwakilan
Rakyat menemukan fakta baru. Saksi ahli yang dihadirkan berkeyakinan bahwa ada
intervensi asing dalam penyusunan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas. Pengamat perminyakan Kurtubi juga menegaskan kembali
keyakinannya itu saat ditemui pers. Menurut dia, inefisiensi tata kelola minyak
saat ini adalah dampak dari UU Migas No 22/2001. Inisiator UU Migas itu dari International Monetary Fund lewat letter of
intent. IMF mengharuskan Indonesia mengubah UU Migas-nya.
Sehingga
melalui penelaahan terhadap argument yang disajikan diatas dan didukung oleh
pendapat seorang pengamat perminyakan, dapat disimpulkan bahwa keterkaitan yang
dimaksud di atas adalah dengan adanya Letter of Intens yang dilakukan oleh
pemerintah Indonesia dengan IMF memunculkan komitmen pemerintah RI untuk
mnyuguhkan informasi tentang implementasi program pembangunan ekonomi dari
adanya dana pinjaman IMF. Sehingga hal ini mencitrakan adanya keterbukaan ruang
kepada para pihak asing (IMF) untuk mengetahui seluk beluk pelaksanaan
pemerintahan di Negara Indonesia, sehingga dengan adanya Letter of Intent
yang dimiliki pihak IMF, pihak IMF dalam implementasinya melakukan dorongan dan
intervensi kepada pemerintah untuk sesegera mungkin membentuk undang-undang
mengenai migas (UU No. 22 tahun 2001). Hal tersebut lumrah dilakukan mengingat hal tersebut
sejalan dengan kepentingan pemodal internasional dalam mendorong agenda
“liberaliasi sektor energi (Migas dan Listrik)” di Indonesia. Kebijakan ini
ditujukan untuk mendominasi sektor energi nasional dari hulu ke hilir. Aktor
internasional yang terlibat dalam kebijakan ini adalah IMF, Bank Dunia, Asian
Development Bank, dan USAID melalui pemberian skema hibah dan hutang.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
°
Letter
of Intent (LoI) sering disebut juga sebagai Memorandum of Economics Financial Policies
(MEFP). LoI ini sebenarnya merupakan serangkaian kebijakan yang akan
diimplementasikan oleh pemerintah Indonesia didalam kerangka untuk memperoleh
dukungan financial dari Lembaga Dana Moneter Internasional (IMF). LoI yang
dibuat oleh pemerintah Indonesia ditandatangani oleh Menteri Keuangan dan
Gubernur Bank Indonesia. Dalam kurun waktu tertentu, IMF melakukan review atas
pelaksanaan kebijakan-kebijakan ekonomi yang telah dilakukannya. Atas dasar
hasil review inilah biasanya IMF mencairkan sebagian dana yang telah disepakati
dalam LoI.
°
Letter of Intent yang sebagai suatu dokumen dimiliki pihak IMF, hal
tersebut secara tidak langsung menguntungkan pihak IMF, karena dalam
implementasinya IMF melakukan dorongan dan intervensi kepada pemerintah untuk
sesegera mungkin membentuk undang-undang mengenai migas (UU No. 22 tahun 2001).
Hal tersebut lumrah dilakukan mengingat hal
tersebut sejalan dengan kepentingan pemodal internasional dalam mendorong
agenda “liberaliasi sektor energi (Migas dan Listrik)” di Indonesia. Kebijakan
ini ditujukan untuk mendominasi sektor energi nasional dari hulu ke hilir.
°
Materi Muatan UU Migas yang bertentangan dengan UUD 1945, yaitu pada
Pasal 11 Ayat (2), Pasal 20A Ayat (1), serta Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD
1945. ketentuan Pasal 11 Ayat (2) bahwa dalam UU Migas hanya mewajibkan Pemerintah dimana BP MIGAS hanya menyampaikan atau menyampaikan salinan atau fotokopi dari kontrak atau perjanjian
yang telah selesai ditandatangani oleh pihak Pemerintah saja. sehingga BP MIGAS dengan pihak Kontraktor, bertentangan dengan UUD 1945.
SUMBER DATA
Anonim. 2007. “sisi
lain dari munculnya UU Migas”.(online), ( http:// pmeindo nesia.com/berita-migas....html),
diakses tanggal 18 Mei 2012
Anonim.
2003. “Letter of Intent Indonesia dengan IMF”.(online),( http://google.com/2003/04/19/sejarah-LoI-Indonesia-IMF/.html), diakses
tanggal 18 Mei 2012
Anonim.
2001. “jalinan hubungan kerjasama Indonesia dan IMF”.(online),( http:// Google.com/2001/jejak-IMF-di-Indonesia-Intervensi/.html), diakses
tanggal 18 Mei 2012
Anonim.
2008. “Meninjau keabsahan UU Migas”.(online),( http://nasional .kompas.com/read/2008...sunan.uu.migas.html),
diakses tanggal 18 Mei 2012
Anonim. 2003. “intisari
Undang-Undang No. 22 tahun 2001”.(online),( http:// www.tempo.co/read/news/2010/0...meninjau-Undang-undang-migas
.html), diakses tanggal 18
Mei 2012
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomoe 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 Amandemen
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
20 Tahun 2007
BalasHapusSaya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut