Minggu, 24 Maret 2013

Posted by DeDY_NuGroho On 05.09

ANALISIS LETTER OF INTENT (LoI) PEMERINTAH RI DENGAN IMF TERKAIT MUNCULNYA UNDANG-UNDANG NO. 22 TAHUN 2001 MENGENAI MINYAK DAN GAS BUMI
DI TINJAU DARI BUNYI PASAL 11 UUD 1945





Disusun untuk melengkapi Tugas Mata Kuliah Hukum Internasional
Yang diampu oleh : Drs. Machmud AR, S.H, M.Si
Oleh :
Dedy Ari Nugroho
(K6410014)
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN

          Sebagai suatu bangsa yang berada dalam taraf membangun seperti Negara Indonesia, tentu saja memiliki suatu komitmen yang gencar dilakukan untuk menunjang laju pembangunannya. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan melakukan suatu hubungan interaksi dengan pihak lain, terutama dalam rangka memperoleh suatu dukungan financial yang nantinya dapat digunakan untuk meningkatkan taraf hidup rakyatnya atau membangun infrastruktur di Negara tersebut. Salah satu bentuk kerja sama dalam bidang financial yang dapat dilakukan oleh Negara dalam skala yang relative besar adalah dengan mempergunakan Letter of Intent yang dapat digunakan sebagai sarana untuk dapat melakukan kerjasama, atau yang lebih spesifiknya adalah meminjam permodalan dalam bentuk financial untuk pen yelenggaraan Negara.
            Memorandum of economic and Financial policies (MEFP) atau populernya adalah Letter of Intent (LoI) sebenarnya adalah suatu dokumen yang menjelaskan berbagai program dan kebijakan yang akan diimplementasikan oleh pemerintah suatu Negara dalam konteks permintaan bantuan keuangan dari lembaga moneter internasional (The International Monetery Fund) atau biasa disebut IMF. Jika program-program dalam LoI ini disepakati oleh IMF barulah dana bantuan untuk Negara pemohon dikucurkan. Berkaitan dengan hal tersebut dalam realitanya Negara Indonesia juga mengajukan pemohonan dana tersebut, sehingga secara otomatis Indonesia merelakan diri untuk menjadi kuli di Negara sendiri untuk melunasi pinjaman-pinjaman financial dari IMF. IMF sendiri mulai dibentuk pada tahun 1944 karena kuatnya dorongan untuk menciptakan tatanan perekonomian dunia yang dapat menangkal turbulensi ekonomi, politik dan sosial yang terjadi pada 1930-an. Khususnya yang menyangkut perdagangan dan pembayaran internasional agar situasi tersebut tidak terulang maka pasca perang dunia didirikanlah IMF yang dibebani tugas untuk menjaga dan memonitor norma-norma yang mengatur transaksi moneter diantara Negara-negara anggotanya. Sejak itu IMF adalah satu-satunya lembaga yang mengatur system moneter internasional.
            Indonesia sebagai Negara yang terikat oleh konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan dari adanya bantuan yang diberikan IMF, mengakibatkan Indonesia harus berjuang keras untuk mengembalikan pinjaman financial tersebut. Berbagai macam usaha dilakukan Negara ini, namun sedikit banyak rakyat merasa telah dirugikan secara tidak langsung, hal ini dikarenakan usaha yang ditempu Negara ini dalam usahanya mengembalikan hutang piutangnya sering kali menaik turunkan harga kebutuhan pokok dan terkesan tidak segan mencekik leher rakyatnya demi keuntungan tuan-tuan pemodal swasta dan imperialis. Keadaan yang semacam ini tentu menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat disamping berjubelnya hutang negaran yang terlanjut terkucur. Beberapa tanggung jawab pelunasan hutang piutang seakan menjadi PR besar terhadap kepemimpinan yang ada, selain menimbulkan pr besar bagi pemerintah keberadaan pinjaman IMF juga dikhawatirkan akan merangsang terbentuknya insane-insan garuda yang selalu bergantung pada kreditor imperialis.
            Disetujuinya Letter of Intent Indonesia dengan IMF nyatanya memunculkan sejumlah aturan yang harus ditepati oleh Negara-negara peminjam modal seperti Indonesia. Di Indonesia sendiri muncul suatu aturan yang di buat terutama yang mengatur mengenai migas. Menurut beberapa pendapat dapat di simpulkan bahwa liberalisasi sektor migas sendiri sebenarnya sudah berusaha didorong sejak lama. Kebijakan ini didorong terutama oleh para pemodal internasional agar bisa mendominasi sektor energi nasional dari hulu ke hilir. Aktor-aktornya, di antaranya adalah IMF, Bank Dunia, Asian Development Bank dan USAID. Dalam Letter of Intent (LoI) Indonesia dengan IMF, sudah tertera aturan untuk liberalisasi sektor energi melalui pembuatan UU Migas untuk mengganti UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dengan UU baru yang lebih berpihak pada investor yang kemudian melahirkan undang-undang mengenai minyak dan gas bumi, yaitu Undang-Undang No. 22 tahun 2001 diamana UU ini kemudian menjadi payung hukum pelaksanaan industri Migas di Indonesia.
            Berkaitan dengan beberapa pendapat serta argument diatas maka dalam paper ini akan dijelaskan secara gamblang mengenai bagaimana serta apa sebenarnya hubungan antara LoI dengan munculnya UU baru tentang Migas. Sebagai salah satu ketentuan, munculnya UU tentang migas dirasa perlu di kaji dari sisi perjanjian internasional, dimana didalamnya mengatur pula mengenai ketentuan-ketentuan dilakukannya suatu perjanjian.



  



BAB II
PEMBAHASAN

A.    TINJAUAN PASAL 11 UUD 1945 MENGENAI KEABSAHAN UNDANG-UNDANG NO. 22 TAHUN 2001 TERKAIT ADANYA LETTER OF INTENT INDONESIA - IMF

      Materi Muatan UU Migas yang bertentangan dengan UUD 1945
Materi Muatan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas yang berbunyi, “Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia” bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2), Pasal 20A Ayat (1), serta Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945
a. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas tersebut di atas, Perjanjian atau Kontrak Kerja Sama (KKS) antara Pemerintah. BP MIGAS dengan pihak Kontraktor usaha minyak dan gas bumi hanya diberitahukan secara tertulis kepada DPR-RI, setelah perjanjian tersebut ditandatangani, bukannya terlebih dahulu dimintakan persetujuan kepada DPR-RI. Dalam hal ini, pihak DPR-RI secara pasif hanya menerima salinan atau fotokopi kontrak/perjanjian yang sudah selesai ditandatangani oleh Pemerintah. BP MIGAS dengan pihak Kontraktor
b. Bahwa faktanya, salinan atau fotokopi kontrak-kontrak kerja sama yang dikirimkan ke DPR-RI. Komisi yang membidangi Minyak dan Gas Bumi itupun baru dikirimkan berselang cukup lama setelah penandatanganan kontrak atau perjanjian antara pihak Pemerintah. BP MIGAS dengan pihak Kontraktor. Misalnya Kontrak Kerja Sama antara BP MIGAS dengan Lasmo Indonesioa Limited dan Unocal Muara Bakau, yang telah ditandatangani pada 30 Desember 2002, namun baru dikirim/diterima oleh DPR-RI. Komisi VIII pada 11 Maret 2004 (vide Bukti P-11), Kontrak Kerja Sama antara BP MIGAS dengan Sebana, yang telah ditandatangani pada 14 Oktober 2003, namun baru dikirim/diterima oleh DPR-RI. Komisi VIII pada 11 Maret 2004 (vide Bukti P-112), Kontrak Kerja Sama antara BP MIGAS dengan Tately N.V. (Company No.87301) yang telah ditandatangani pada 30 Desember 2003, namun baru dikirim/diterima oleh DPR-RI. Komisi VIII pada 11 Maret 2004.
c. Bahwa KKS yang dimaksud oleh ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas yakni Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi (kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja yang ditentukan) dan Eksploitasi (rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi dari wilayah kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya) yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
d. Bahwa kontrak-kontrak atau perjanjian antara BP MIGAS dengan Kontraktor nyata-nyata menimbulkan pendapatan atau minimal potensi pendapatan yang sangat besar bagi negara. Sebagai contoh antara lain:
1) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Lasmo Indonesia Limited dan Unocal Muara Bakau. tertanggal 30 Desember 2002 dengan area kontrak Muara Bakau.
2) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Sebana Ltd. tertanggal 14 Oktober 2003 dengan area kontrak Bulu.
3) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dengan Santos (NTH Bali I). tertanggal 14 Oktober 2003 dengan area kontrak North Bali I
4) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Knoc Nemone. dan Petrovietnam Investment & Development Company dan SK Corporation tertanggal 14 Oktober 2003 dengan area kontrak North East Madura I.
5) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Knoc Nemtwo Ltd. dan Petrovietnam Investment & Development Company tertanggal 14 Oktober 2003 dengan area kontrak North East Madura II
6) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Provident Indonesia Energy LLC tertanggal 14 Oktober 2003 dengan area kontrak Tarakan Offshore Block
7) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Tately N.V. (Company No.87301) tertanggal 30 Desember 2003 dengan area kontrak Palmerah (vide BUkti P-13)
8) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Pearloil (Salawati) Limited tertanggal 30 Desember 2003 dengan area kontrak West Salawati;
9) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Elnusa Bangkanai Energy Ltd. tertanggal 30 Desember 2003 dengan area kontrak Bangkanai;
10) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Halmahera Petroleum Limited tertanggal 30 Desember 2003 dengan area kontrak Halmahera.

e. Bahwa di lain pihak, ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 secara tegas mensyaratkan bahwa segala perjanjian internasional lain (selain perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Ayat (1) UUD 1945, yakni perjanjian internasional terkait dengan pernyataan perang, perdamaian dan perjanjian dengan negara lain), sejauh perjanjian internasional tersebut menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang, maka perjanjian internasional sedemikian, menurut UUD 1945, sebelum ditandatangani oleh Presiden/Pemerintah, harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR-RI, bukan hanya sekadar pengiriman salinan atau copy perjanjian atau kontrak secara tertulis saja yang dikirimkan kepada DPR-RI;
f. Bahwa filosofi dasar harus disetujuinya setiap perjanjian internasional sebagaimana dimaksud Pasal 11 UUD 1945 tersebut adalah bahwa secara materiil dan secara formal, perjanjian internasional apapun juga yang akan dibuat atau ditandatangani oleh Pemerintah, harus terlebih dahulu disetujui oleh DPR-RI, sepanjang perjanjian internasional tersebut menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang
g. Hal tersebut adalah sangat logis dan mendasar mengingat konsep dasar yang dibangun oleh UUD 1945 adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang selalu mengedepankan kemakmuran dan kesejahteraan kehidupan rakyat, sehingga karenanya segala tindakan Pemerintah yang terkait atau membawa akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat luas harus mendapatkan persetujuan DPR-RI sebagai lembaga negara yang sah mewakili rakyat
h. Bahwa dengan tanpa disetujuinya terlebih dahulu perjanjian-perjanjian yang akan ditandatangani oleh Pemerintah. BP MIGAS dengan pihak Kontraktor tersebut, maka:
1. DPR-RI menjadi tidak dapat mengetahui dan mengawasi lebih awal berapa banyak kontrak-kontrak yang dilakukan oleh Pemerintah. BP MIGAS, dan seberapa besar pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi tersebut. Akibatnya, DPR-RI tidak dapat mengetahui seberapa besar hasil pengelolaan sumber daya alam dari sektor minyak dan gas bumi memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
2. Faktanya, ternyata dari kontrak-kotrak yang ada, nampak jelas betapa besarnya pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan minyak dan gas bumi yang ada di bumi dan air Indonesia, yang apabila tanpa dikelola secara baik dan benar serta diawasi secara ketat oleh DPR-RI dalam bentuk pemberian persetujuan, akan sangat berpotensi merugikan Negara, yang berarti tidak memberikan kesejahteraan dan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi rakyat.
3. Ketiadaan persetujuan DPR-RI tersebut, mengakibatkan hilang dan terlanggarnya hak konstitusional para Pemohon selaku Anggota DPR-RI untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan kekayaan alam yang ada di bumi dan air Indonesia yang dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4. Di samping itu, tanpa adanya persetujuan DPR-RI, mengakibatkan hilangnya hak konstitusional para Pemohon untuk ikut mengawasi pengelolaan sumber daya alam dari sektor minyak dan gas bumi, apakah telah dikelola, dilaksanakan dan diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
  i. Bahwa lebih jauh lagi, ukuran atau tolok ukur dari perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat, sehingga harus dengan persetujuan DPR-RI sebagaimana dimaksud oleh ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945, yaitu:
- Terkait dengan beban keuangan negara; dan/atau
- Mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang.
1) Terkait dengan beban keuangan negara, berarti ada uang atau pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh negara yang dapat menjadi beban rakyat atau negara harus mengeksploitasi sumber daya alamnya untuk menutupi beban keuangan negara yang terjadi;
2) Mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-undang. Dalam hal ini Undang-Undang tentang APBN, dimana ada kejadian yang sedemikian rupa menimbulkan pendapatan negara yang sangat besar sehingga merubah atau setidak-tidaknya mempengaruhi sisi pendapatan APBN. Artinya, dalam hal terjadi suatu pendapatan yang sangat besar di luar yang tercantum dalam Undang-Undang tentang APBN yang telah disetujui bersama oleh Pemerintah dan DPR, maka Undang-Undang APBN tersebut harus diubah untuk menyesuaikan dengan besarnya jumlah pendapatan yang baru tersebut, dan hal ini juga akan berakibat atau mengakibatkan perubahan APBN pada sisi pengeluaran atau belanja negara;
  j. Sesuai dengan fakta tersebut di atas, kontrak-kontrak/KKS tersebut telah menimbulkan tambahan pendapatan negara yang luar biasa besar dan signifikan sehingga mempengaruhi atau menyebabkan perubahan Undang-Undang APBN pada sisi pendapatan, dan juga secara langsung merubah komposisi APBN pada sisi belanja negara. Dengan demikian, perjanjian-perjanjian antara BP MIGAS dengan Kontraktor tersebut, secara konstitusional harus mendapatkan persetujuan DPR-RI yang dalam hal ini diwakili oleh para Anggota DPR-RI.
k. Bahwa lebih jauh lagi, kekayaan negara yang sangat besar dari sektor minyak dan gas bumi yang dikelola oleh BP MIGAS tersebut, menimbulkan potensi kerugian negara yang sangat besar jika tidak dikelola secara benar, efisien dan efektif.
l.  Namun demikian, faktanya tidak ada satupun lembaga negara atau intitusi yang dapat melakukan tindakan pre-emptive atau preventive (pencegahan) untuk menghindari kerugian keuangan negara akibat salah kelola atau pengelolaan yang tidak efisien oleh Pemerintah cq. BP MIGAS atas keuangan negara yang sangat besar tersebut sebagai suatu bentuk pengawasan atas pengelolaan kekayaan negara. Bahkan pengawasan secara dinamis pasca penandatanganan kontrak dan implementasinya di lapangan, faktanya juga sangat sulit untuk dilakukan karena prosedur permintaan data/keterangan maupun pengiriman salinan atau fotokopi kontrak yang relatif lambat dan berbelit-belit. Sehingga terkesan kuat bahwa BP MIGAS telah menjadi suatu lembaga super body yang tidak dapat dikontrol/diawasi oleh pihak manapun juga. Hal tersebut tercermin dari kewenangan atau tugas dari BP MIGAS yang begitu besar, yaitu antara lain:
- Penyiapan dan penawaran wilayah kerja serta KKS oleh BP MIGAS
- Penandatanganan KKS
- Persetujuan atas rencana kerja dan anggaran
- Monitoring pelaksanaan KKS
- Penunjukan penjual minyak bumi dan/atau gas alam bagian negara
- Pelaksanaan tender-tender untuk proses eksplorasi dan eksploitasi oleh Kontraktor
- Persetujuan besaran dan pembayaran Cost Recovery kepada Kontraktor.
m. Bahwa terkait dengan kekhawatiran banyak kalangan atas dampak dari keharusan adanya persetujuan DPR-RI terlebih dahulu atas setiap kontrak/KKS yang akan ditandatangani oleh Pemerintah. BP MIGAS dengan Kontraktor, dalam hubungannya dengan iklim atau tingkat investasi di Indonesia, maka hal tersebut hanyalah kekhawatiran yang berlebihan mengingat hal yang menjadi perhatian utama para investor yang akan menanamkan modal di Indonesia adalah masalah kepastian hukum dan jaminan keamanan berinvestasi. Persetujuan DPR-RI atas penandatanganan kontrak-kontrak/KKS antara Pemerintah. BP MIGAS dengan Kontraktor jangan dilihat sebagai perpanjangan rantai birokrasi sehingga mengakibatkan inefisiensi berinvestasi, melainkan justru lebih memperkuat kedudukan hukum dan kepastian hukum dari kontrak/KKS. Karena dalam praktik di negara manapun juga, justru menunjukkan bahwa kepentingan negara dan rakyat dalam pengelolaan kekayaan negara adalah hal pokok yang harus selalu diutamakan dan dikedepankan.

                  Dengan demikian sudah sangat jelas dan tidak terbantahkan lagi bahwa ketentuan Pasal 11 Ayat (2) bahwa dalam UU Migas hanya mewajibkan Pemerintah dimana BP MIGAS hanya menyampaikan atau menyampaikan salinan atau fotokopi dari kontrak atau perjanjian yang telah selesai ditandatangani oleh pihak Pemerintah saja. sehingga BP MIGAS dengan pihak Kontraktor, bertentangan dengan UUD 1945.
     

B.     HUBUNGAN ANTARA LETTER OF INTENT DENGAN MUNCULNYA UU NO. 22 TAHUN 2001 TENTANG MIGAS
        Letter of Intent (LoI) sering disebut juga sebagai Memorandum of Economics Financial Policies (MEFP). LoI ini sebenarnya merupakan serangkaian kebijakan yang akan diimplementasikan oleh pemerintah Indonesia didalam kerangka untuk memperoleh dukungan financial dari Lembaga Dana Moneter Internasional (IMF). LoI yang dibuat oleh pemerintah Indonesia ditandatangani oleh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. Dalam kurun waktu tertentu, IMF melakukan review atas pelaksanaan kebijakan-kebijakan ekonomi yang telah dilakukannya. Atas dasar hasil review inilah biasanya IMF mencairkan sebagian dana yang telah disepakati dalam LoI.
      Butir-butir kesepakatan yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI) merupakan suatu produk dari hasil kesepakatan bersama antara pemerintah Indonesia dengan Lembaga Dana Moneter Internasional (IMF) yang pada dasarnya diarahkan pada upaya-upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam pemulihan ekonomi, sehingga pada saatnya Indonesia mampu keluar dari krisis ekonomi.
      Sejarah dilayangkannya permohonan bantuan financial ini di awali dari periode Agustus – Oktober 1997, pemerintah telah berupaya mengatasi krisis dengan mengembangkan mata uang. Spekulasi meningkat dan bank Indonesia mengetatkan likuiditas sehingga tingkat bunga (deposito 1 bulan) mencapai 63 persen pada 20 Agustus. Proyek-proyek pembangunan senilai US$ 35,6 milyar ditunda dan ditinjau ulang, ketika usaha-usaha tersebut tidak berhasil menekan krisis yang melanda maka IMF diharapkan mampu memperkuat program-program pemerintah, maka pada 31 Oktober 1997, pemerintah melayangkan permohonan bantuan keuangan pada Michel Camdessus Managing Director IMF waktu itu. Bantuan ini akan digunakan untuk menanggulangi krisis moneter. Untuk memenuhi persyaratan bantuan inilah Indonesia dan IMF membuat suatu kesepakatan pemulihan ekonomi dalam tiga tahun. Kesepakatan ini disetujui pada bulan November 1997, sedangkan LoI pertama ditanda tangani oleh presiden RI pada waktu itu yaitu Soeharto denga disaksikan oleh Michel Camdessus pada 15 Januari 1998.

      Dalam permohonan bantuan dana kepada IMF tersebut, pemerintah Indonesia berjanji akan melakukan sejumlah perbaikan. Janji mengadakan perbaikan dan perubahan ini terkait pada dana yang dipinjamkan lembaga donor tersebut. Kebijakan-kebijakan yang tertuang dalam LoI ini diharapkan mampu dengan cepat mengembalikan kepercayaan pasar, untuk ini pemerintah RI bersedia menerima persyaratan tambahan yang diperlukan dan berjanji akan menyiapkan informasi yang diminta IMF tentang proses dari implementasi kebijakan dan pencapaian program.
      Dengan ditandatanganinya surat atau dokumen Letter of Intent oleh presiden RI yang saat itu berkuasa, maka secara otomatis hal tersebut membuka ruang untuk tangan atau pihak asing dalam mengetahui seluk beluk serta informasi-informasi yang berkenaan dengan penerapan program-program dari dana IMF tersebut. Bahkan dalam Memorandum Kebijakan Ekonomi dan Keuangan Strategi Jangka Menengah dan Kebijakan untuk 1999 dan 2000
yang dikirimkan kepada pihak IMF Indonesia menyatakan dalam salah satu butir pendahuluannya, bahwa Di sektor minyak dan gas, pemerintah secara tegas berkomitmen untuk tindakan berikut: mengganti hukum yang ada dengan kerangka hukum modern, restrukturisasi dan reformasi Pertamina, memastikan bahwa hal fiskal dan peraturan untuk eksplorasi dan produksi tetap kompetitif secara internasional. Memungkinkan harga produk dalam negeri untuk mencerminkan tingkat pasar internasional, dan membangun sebuah kerangka kebijakan yang koheren dan suara untuk mempromosikan efisien dan pola ramah lingkungan dari penggunaan energi dalam negeri. Draft yang mengatur mengenai Minyak dan hukum gas yang telah disampaikan kepada parlemen sebelumnya akan ditinjau dan dikirimkan kembali dengan maksud untuk perjalanan panjangnya selama tahun 2000. Hukum ini akan menyediakan pembentukan sebuah badan tujuan khusus untuk mengalokasikan areal dan mengawasi kontrak eksplorasi dan produksi, pembentukan lembaga independen untuk mengatur elemen monopoli bisnis hilir, sedangkan pengaktifan dari persaingan yang efektif dalam penyediaan bahan bakar untuk pasar domestic, dan transformasi Pertamina menjadi perusahaan perseroan terbatas. Secara paralel, harga BBM domestik akan semakin meningkat sehingga mendorong pilihan energi lebih efisien dan untuk penghapusan tersebut di subsidi anggaran; ke arah tujuan ini, meningkat awal akan dilaksanakan selama TA 2000. Rumah tangga berpenghasilan rendah akan dilindungi oleh skema subsidi bertarget yang sedang dikembangkan melalui konsultasi dengan Bank Dunia.
      Bahkan dalam poin 16 dalam pendahuluan Memorandum Kebijakan Ekonomi dan Keuangan Strategi Jangka Menengah dan Kebijakan untuk 1999 dan 2000 pemerintah menyatakan bahwa pemerintah berkomitmen untuk membangun struktur tata kelola sepenuhnya efektif dalam konsultasi dengan pihak IMF. Dengan pernyataan tersebut mengandung sebuah pencitraan bahwa pemerintah berkomitmen untuk menggunakan jasa dan pertimbangan IMF dalam pelaksanaan program pemulihan ekonomi Negara. Dengan adanya Letter of Intent yang disebut pula sebagai dokumen kerja sama membuat pihak IMF semakin bebas melakukan bentuk intervensi terhadap kebijakan Negara. Salah satunya adalah dorongan IMF kepada pemerintah untuk segera membentuk Undang-Undang baru yang lebih modern yang mengatur mengenai minyak dan gas bumi. Argument tersebut semakin diperkuat oleh pendapat Kurtubi, bahwa panitia Angket Bahan Bakar Minyak Dewan Perwakilan Rakyat menemukan fakta baru. Saksi ahli yang dihadirkan berkeyakinan bahwa ada intervensi asing dalam penyusunan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas. Pengamat perminyakan Kurtubi juga menegaskan kembali keyakinannya itu saat ditemui pers. Menurut dia, inefisiensi tata kelola minyak saat ini adalah dampak dari UU Migas No 22/2001. Inisiator UU Migas itu dari International Monetary Fund lewat letter of intent. IMF mengharuskan Indonesia mengubah UU Migas-nya.
      Sehingga melalui penelaahan terhadap argument yang disajikan diatas dan didukung oleh pendapat seorang pengamat perminyakan, dapat disimpulkan bahwa keterkaitan yang dimaksud di atas adalah dengan adanya Letter of Intens yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan IMF memunculkan komitmen pemerintah RI untuk mnyuguhkan informasi tentang implementasi program pembangunan ekonomi dari adanya dana pinjaman IMF. Sehingga hal ini mencitrakan adanya keterbukaan ruang kepada para pihak asing (IMF) untuk mengetahui seluk beluk pelaksanaan pemerintahan di Negara Indonesia, sehingga dengan adanya Letter of Intent yang dimiliki pihak IMF, pihak IMF dalam implementasinya melakukan dorongan dan intervensi kepada pemerintah untuk sesegera mungkin membentuk undang-undang mengenai migas (UU No. 22 tahun 2001). Hal tersebut lumrah dilakukan mengingat hal tersebut sejalan dengan kepentingan pemodal internasional dalam mendorong agenda “liberaliasi sektor energi (Migas dan Listrik)” di Indonesia. Kebijakan ini ditujukan untuk mendominasi sektor energi nasional dari hulu ke hilir.  Aktor internasional yang terlibat dalam kebijakan ini adalah IMF, Bank Dunia, Asian Development Bank, dan USAID melalui pemberian skema hibah dan hutang.        

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
°         Letter of Intent (LoI) sering disebut juga sebagai Memorandum of Economics Financial Policies (MEFP). LoI ini sebenarnya merupakan serangkaian kebijakan yang akan diimplementasikan oleh pemerintah Indonesia didalam kerangka untuk memperoleh dukungan financial dari Lembaga Dana Moneter Internasional (IMF). LoI yang dibuat oleh pemerintah Indonesia ditandatangani oleh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. Dalam kurun waktu tertentu, IMF melakukan review atas pelaksanaan kebijakan-kebijakan ekonomi yang telah dilakukannya. Atas dasar hasil review inilah biasanya IMF mencairkan sebagian dana yang telah disepakati dalam LoI.
°         Letter of Intent yang sebagai suatu dokumen dimiliki pihak IMF, hal tersebut secara tidak langsung menguntungkan pihak IMF, karena dalam implementasinya IMF melakukan dorongan dan intervensi kepada pemerintah untuk sesegera mungkin membentuk undang-undang mengenai migas (UU No. 22 tahun 2001). Hal tersebut lumrah dilakukan mengingat hal tersebut sejalan dengan kepentingan pemodal internasional dalam mendorong agenda “liberaliasi sektor energi (Migas dan Listrik)” di Indonesia. Kebijakan ini ditujukan untuk mendominasi sektor energi nasional dari hulu ke hilir.
°         Materi Muatan UU Migas yang bertentangan dengan UUD 1945, yaitu pada Pasal 11 Ayat (2), Pasal 20A Ayat (1), serta Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945. ketentuan Pasal 11 Ayat (2) bahwa dalam UU Migas hanya mewajibkan Pemerintah dimana BP MIGAS hanya menyampaikan atau menyampaikan salinan atau fotokopi dari kontrak atau perjanjian yang telah selesai ditandatangani oleh pihak Pemerintah saja. sehingga BP MIGAS dengan pihak Kontraktor, bertentangan dengan UUD 1945.

SUMBER DATA


Anonim. 2007. “sisi lain dari munculnya UU Migas”.(online), ( http:// pmeindo      nesia.com/berita-migas....html),  diakses tanggal 18 Mei 2012
Anonim. 2003. “Letter of Intent Indonesia dengan IMF”.(online),(             http://google.com/2003/04/19/sejarah-LoI-Indonesia-IMF/.html), diakses    tanggal 18 Mei 2012
Anonim. 2001. “jalinan hubungan kerjasama Indonesia dan IMF”.(online),( http:// Google.com/2001/jejak-IMF-di-Indonesia-Intervensi/.html), diakses   tanggal 18 Mei 2012
Anonim. 2008. “Meninjau keabsahan UU Migas”.(online),( http://nasional             .kompas.com/read/2008...sunan.uu.migas.html),  diakses tanggal 18 Mei     2012
Anonim. 2003. “intisari Undang-Undang No. 22 tahun 2001”.(online),( http://             www.tempo.co/read/news/2010/0...meninjau-Undang-undang-migas           .html), diakses tanggal 18 Mei 2012
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

Undang-Undang Republik Indonesia Nomoe 24 tahun 2000 tentang Perjanjian      Internasional

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20 Tahun 2007

1 komentar:


  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus